APTI dan IBC Harapkan Cukai Tembakau yang Stabil, Desak Moratorium Tiga Tahun Kenaikan CHT
Di tengah tekanan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat, pelaku industri dan petani tembakau mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan moratorium kenaikan tarif CHT selama tiga tahun ke depan.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, Sahminudin, menyampaikan bahwa para petani berharap besar pada kebijakan Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang baru, yakni Letjen Djaka Budi Utama. Menurutnya, kenaikan tarif CHT di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil dapat memicu efek domino yang merugikan, terutama bagi sektor padat karya seperti IHT.
"Penting sekali moratorium kenaikan CHT, karena untuk menstabilkan daya beli masyarakat itu," katanya di Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Menurut Sahminudin, kebijakan tersebut dapat menunda potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan menjaga serapan hasil panen petani. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap rokok ilegal yang memperparah kondisi petani.
"Otomatis mengurangi kebutuhan tembakaunya, jadi nanti langsung petani terdampak juga itu. Apalagi sekarang ini kan pemerintah kita bilang belum mampu menjaga rokok ilegal," tambahnya.
Menanggapi seruan moratorium, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Elizabeth Kusrini, memberikan pandangan yang lebih luas. Ia menilai bahwa kebijakan moratorium dapat memberikan ruang napas bagi ekosistem IHT, mulai dari petani, buruh pabrik, hingga pelaku UMKM distribusi. Stabilitas harga rokok dinilai mampu mempertahankan lapangan kerja.
Baca Juga: Industri Periklanan Ikut Khawatir pada PP 28/2024 yang Dianggap Tekan Industri Tembakau
"Ketika cukai dinaikkan secara agresif, industri cenderung mengurangi pembelian bahan baku untuk efisiensi, sehingga pendapatan petani rentan terdampak. Tanpa reformasi menyeluruh dalam tata niaga tembakau, buruh tetap rentan terhadap pemutusan kerja sebagai dampak tekanan efisiensi dari perusahaan," jelas Elizabeth.
Ia juga mengingatkan bahwa ketidakpastian kebijakan cukai dari tahun ke tahun, seperti lonjakan 23% pada 2020, dapat memicu reaksi ekstrem dari industri, termasuk PHK dan relokasi produksi.
"Risiko terbesar adalah pada sektor padat karya, yakni buruh Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan petani tembakau, yang posisinya rentan dan kurang terlindungi dari dinamika pasar. Jika pabrik gulung tikar atau menurunkan kapasitas produksi karena ketidakpastian tarif, kelompok ini yang pertama terdampak," tutup Elizabeth.
Dengan latar belakang tersebut, moratorium kenaikan tarif CHT selama tiga tahun dinilai sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas industri, melindungi tenaga kerja, dan memastikan penerimaan negara tetap optimal tanpa mengorbankan kelompok rentan dalam rantai pasok tembakau.
(责任编辑:焦点)
- ·Pemberian Bansos Beras Distop, Bapanas Ungkap Alasannya
- ·Saat Putusan MK Soal Syarat Usia Calon Kepala Daerah Dimentahkan DPR, Kaesang Makin di Atas Angin!
- ·Instansi Paling Banyak dan Sedikit yang Diminati Pelamar CPNS 2024
- ·5 Minuman Herbal untuk Diabetes, Bantu Mengontrol Kadar Gula Darah
- ·Dikira Ahok, Anies: Saya Tahan Panas!
- ·Tak Cuma Kejar Laba, Sun Life Tekankan Komitmen Kesehatan Generasi Bangsa
- ·Berkontribusi dalam Penyediaan Nutrisi, Sarihusada Raih Penghargaan di Ajang Peduli Gizi 2025
- ·莫纳什大学视觉传达专业全面解析
- ·Menteri PPPA Bakal Batasi Penggunaan Medsos bagi Anak
- ·Jakarta Saat ini Sudah Masuk Zona Merah
- ·Menteri PPPA Bakal Batasi Penggunaan Medsos bagi Anak
- ·5 Buah yang Tidak Boleh Dimakan Penderita Batu Ginjal
- ·Usaha Klaster Jeruk Ini Makin Berkembang Berkat Pemberdayaan BRI
- ·Gaikindo Minta Insentif Pajak Dirasakan Semua Teknologi Kendaraan, Bukan Cuma EV Saja
- ·Trump: Kami Dapatkan Mineral Langka, China Dapatkan Akses Pendidikan ke AS
- ·Heboh Paskibraka Tak Boleh Berhijab Saat Pengukuhan, Menag Yaqut: Orang Pakai Jilbab Itu Hak
- ·Dasco Akui Ridwan Kamil
- ·Mahasiswa Undip Terjun ke Desa, Peternak dan Petani Dilatih Manajemen Keuangan Hingga Bisnis
- ·Trump: China Akan Dikenakan Tarif Sebesar 55%!
- ·Daya Beli MinyaKita Menurun Usai HET Dinaikkan, Kemendag Buka Suara